Kamis, 05 Oktober 2017

SANGAR! Aksi HEROIK Pratu Erick Lepaskan Tali Helikopter yang Tersangkut Tiang!

TNI menggelar Gladi Kotor peringatan HUT ke-72 di Dermaga Indah Kita Cilegon, Banten. Rupanya ada insiden tersangkutnya tali penerjunan (fastrope) helikopter ke sebuah tiang lampu di area acara pada Minggu (1/10).

Peristiwa ini diunggah oleh akun Pusat Penerangan TNI @puspen_TNI pada Selasa (3/10). Dalam foto yang diunggah, tampak helikopter Bell milik TNI AL terbang di atas dermaga.

Foto itu memperlihatkan dia tali fastrope tersangkut di sebuah tiang penyangga lampu acara. Yang menarik, seorang prajurit bernama Pratu (Mar) Erick berupaya melepaskan tali yang tersangkut. Pratu Erick terlihat masih tergantung di tali di antara helikopter dan tiang lampu.
"Kisah heroik sang Pratu (Mar) Erick berada di tiang listrik saat hendak lepaskan fastrope dri helikopter yg tersangkut," tulis akun @Puspen_TNI.


Erick saat itu, menumpangi Heli Bell HU 411 milik Puspenerbal TNI AL. Helikopter membawa 5 fastroper dari TNI AD, AU, dan AL. Dikutip dari Antara, Pratu (Mar) Erick Wahyudi merupakan fastroper keempat saat itu. Mengetahui tali tersangkut tiang, Erick memilih meluncur dan mendarat di tiang untuk melepaskan dari yang tersangkut.

Tersangkutnya tali bisa berdampak buruk baik bagi prajurit yang akan melakukan fastrop dan helikopter yang membawa pasukan. Helikopter bisa tak terkendali terhempas angin dengan kondisi tali tersangkut. Sedangkan, prajurit bisa mendarat tidak sempurna.

Setelah sampai di tiang, Ercik langsung melepas tali dengan risiko jatuh tanpa pengaman. Setelah tali terlepas, fastroper selanjutya, Pratu Riza dari Den Bravo Paskhas TNI AU bisa mendarat dengan selamat. Helikopter juga bisa terbang dengan normal.

Erick kemudian dievakuasi oleh personel Denjaka TNI AL dengan alat khusus. Erick berhasil turun setelah alat itu dinaikkan setinggi 30 meter.

Pratu Mar Erick Wahyudi, mengatakan, inisiatif ini muncul secara spontan. Yang dipikirkan hanya untuk menyelamatkan rekan dan agar helikopter tidak jatuh.

"Saya hanya memikirkan untuk menyelamatkan rekan fastroper di belakangnya yang rawan terjatuh jika tali tidak bisa lepas dari tiang listrik dan Helikopter juga rawan jatuh," kata Erick.

Seperti diketahui, hari ini TNI menggelar gladi bersih di Dermaga Kita Indah, Cilegon, Banten. HUT ke-72 TNI mengusung tema 'Bersama Rakyat TNI Kuat'. Pangkostrad Letjen TNI Edy Rachmayadi akan bertindak sebagai komandan upacara.

Alutsista terbaik yang dimiliki TNI juga ditampilkan pada gladi bersih ini. Misalnya, tank Leopard, Tarantula, Ransus Mars, serta KRI dari berbagai KLS.

Pasukan yang terlibat dalam Parade dan Deflle berjumlah 5.932 orang yang terdiri atas Brigade Upacara I Gabungan, Brigade Upacara II Akademi TNI, Brigade Upacara III TNI AD, Brigade Upacara IV TNI AD, Brigade Upacara V TNI AL, Brigade Upacara VI TNI AU, Batalyon Upacara PNS, dan Batalyon Komponen Cadangan.

Sumber : kumparan

HUT TNI Ke-72 Jadi yang Terakhir bagi Jenderal Gatot, Ini Pesan Sang Panglima!

Masa jabatan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo akan berakhir 6 bulan lagi. Dia ingin TNI berada dalam posisi netral di berbagai situasi politik. 

"Tugas saya tinggal 6 bulan, maka kewajiban saya menyiapkan adik-adik saya sebagai kader penerus untuk solid antarmatra TNI dan solid dengan masyarakat," kata Gatot di atas kapal KRI dr Soeharso, Cilegon, Banten, Selasa (3/10/2017).

Gatot menilai kesatuan komando TNI yang telah ada hingga saat ini perlu ditingkatkan. Selain itu, dia meminta TNI selalu netral dalam situasi politik. 

"Panglima TNI pasti berpolitik, tapi politiknya adalah politik negara, bukan politik praktis. Saya tidak berpikir menjadi panglima apa pun juga, tetapi yang jelas sebagai panglima, saya harus melaksanakan tugas saya sebagai konstitusi. Politik saya politik negara," jelas Gatot. 

Ditambahkannya, dalam kurun 6 bulan terakhir, TNI telah menjadi institusi yang paling dipercaya oleh rakyat. 

"Enam bulan ini bahwa TNI sekarang ini berada dalam berbagai survei merupakan institusi yang paling dipercaya rakyat ini adalah kerja secara estafet dari para pemimpin dan prajurit TNI, mulai dari kondisi terpuruk hingga seperti sekarang," paparnya. 

Kendati demikian, Gatot meminta penggantinya kelak dapat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan TNI. Selain itu, dia minta maaf bila ada kesalahan atau perbuatan TNI yang menyakiti hati rakyat. 

"TNI sebagai organisasi yang diawali oleh manusia saya mohon maaf apabila ada prajurit saya dan pasti ada yang melakukan kegiatan-kegiatan di luar kepatutan yang menyakiti hati rakyat. Saya mohon maaf dan itulah pekerjaan yang harus segera diselesaikan sehingga tidak ada lagi seperti itu," tutupnya.

sumber : detik

MANTAP JAYA! Bawa Satwa Saat Terjun Payung, Kopassus Cetak Rekor MURI!

Aksi heroik enam penerjun Kopassus dalam demonstrasi terjun bebas militer HUT ke-72 TNI di Dermaga Indah Kiat Merak, Cilegon, Banten, Kamis (5/10) berhasil memecahkan rekor MURI.

Dalam aksi itu, penerjun Kopassus yang membawa satwa anjing terjun dari ketinggian 8.000 feet dinilai belum pernah terjadi di Indonesia. 

Manager Operasional MURI, Triyono mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan verifikasi dengan menyaksikan langsung kegiatan terjun dengan satwa itu dalam gladi bersih yang dilakukan pada 3 Oktober lalu.

"Betul terjun dengan membawa satwa anjing ini belum pernah tercatat di Rekor MURI, apalagi ada enam penerjun beserta anjing. Mudah-mudahan inovasi seperti ini dapat menjadi motivasi bagi satuan lain untuk lebih berkreasi lagi, sehingga ada hal-hal baru yang bisa dipersembahkan oleh anak bangsa," tegas Triyono dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi.

Sementara itu, salah satu penerjun yang membawa satwa anjing, Sertu Teddi M. Romdhon mengatakan bahwa terjun bebas militer kali ini memiliki keunikan tersendiri, karena setiap penerjun harus mampu menjinakkan satwa. Sehingga, satwa tersebut itu bisa beradaptasi ketika melaksanakan penerjunan dari udara. 

"Sebelumnya kami harus menyatu dengan satwa yang akan kita bawa untuk terjun, sehingga dalam pelaksanaan latihan sehari-hari, kita ajak satwa itu untuk bermain-main dan bercengkerama serta dielus-elus agar jinak dan nurut," tegas Romdhon.  

Adapun pemecahan Rekor MURI ini disaksikan oleh pendiri MURI Jaya Suprana dan Direktur Utama MURI Aylawati Sarwono. Keduanya hadir memenuhi undangan dalam peringatan HUT ke-72 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon

Sumber : rmol

Ejek Mata Panglima TNI Begini Saat Nonton Film G30S/PKI, Begini Nasib Pria Ini!

Dalam mempergunakan media sosial, kita memang harus selalu berhati-hati.
Meski bebas menuliskan apapun, tetap saja postingan yang menyindir akan berimbas buruk.
Seperti yang dialami oleh seorang PNS berikut ini.

Di akun Facebooknya, ia memposting foto Jenderal TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Presiden Joko Widodo sedang nobar film G30S/PKI di Bogor beberapa waktu lalu.
Ini yang ia katakan di postingannya :
Tanda tanda orang mau pensium Maret 2018 sdh kelihatan...
Ngajak nonton g30spki udah 5 watt matanya..
Coba bandingkan dengan yang insyaallah pesiun 2024..
Mata Pak Dhe terang terus seperti lampu Philips..

Postingannya itu kemudian jadi viral dan dirinya diburu oleh para anggota TNI.

Tak lama setelah itu, rupanya ia didatangi beberapa anggota TNI terkait postingannya tersebut.
Ia pun meminta maaf dan menjelaskan proses pemanggilannya.
Ini kata dia :

"Ass. Wr. Wb. Pada hari ini Senin 2 Oktober 2017 saya Iwan Susanto Purwahyo telah dipanggil oleh Kodim 1608 Bima untuk memberikan keterangan terkait postingan saya yang telah membuat keributan di dunia maya khususnya facebook dan telah menyatakan permohonan maaf kepada Panglima TNI dan Dandim 1608 Bima dan jajaran TNI serta surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.
Selama pemeriksaan dan interogasi oleh Intel Kodim 1608 Bima saya telah diperlakukan dengan baik.
Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada Dandim 1608 Bima dan jajarannya. Wass. Wr. Wb."

Kemudian terlihat juga foto dirinya sedang duduk di kursi hijau sambil diinterogasi oleh pria berkemeja biru.
Terlihat pula seorang pria beridiri di sampingnya sambil mengenakan pakaian TNI.

Ia juga sebelumnya telah menyatakan permintaan maaf di Facebooknya sebelum akhirnya dipanggil Intel Kodim.
Ass. Wr. Wb. Kpd. Yth. Panglima TNI dan pengguna Facebook yang memberikan komentar di postingan saya khususnya foto Presiden Jokowi n Panglima TNI yang sedang nonton bareng film G30S/PKI di Makorem Bogor...

Saya menyatakan permohonan maaf yang sebesar-besarnya bila status saya itu tidak berkenan atau dianggap menghina bagi pengguna facebook...

Saya tidak bermaksud menghina Panglima TNI atau siapapun di foto tersebut...

Saya membuat status tersebut karena tergelitik dengan foto beliau berdua yang sedang nonton film dan saya melihat mata Panglima TNIN yang sedikit merem atau ngantuk maka terbesit ide membuat status 5 watt itu...

Mata 5 watt itu biasa saya gunakan untuk mengomentari teman teman saya yang sudah ngantuk...
Matanya sudah 5 watt alias ngantuk.

Bagaimana menurut kalian guys?

sumber : tribun

Rabu, 04 Oktober 2017

Inilah Peristiwa Bandar Betsy, Ketika Anggota TNI Gugur Dicangkul Underbouw PKI!

Salah satu kekuatan yang paling menentang Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah TNI Angkatan Darat. Konflik antara PKI dan Angkatan Darat memang punya sejarah panjang.

Konflik pertama antara kekuatan komunis dan TNI AD meletus saat 'Madiun Affair'. Musso dan didukung laskar merah memproklamasikan berdirinya Negara Soviet Madiun pada tanggal 18 September 1948. 

Presiden Soekarno menjawabnya dengan pidato keras. "Pilih Republik Indonesia Soekarno-Hatta atau Musso!"

TNI AD mengerahkan kekuatan Divisi Siliwangi untuk melibas gerakan tersebut. TNI merasa ditusuk dari belakang karena saat itu mereka sedang bersiap untuk melawan Agresi Militer Belanda di depan mata. Namun malah pecah Madiun Affair.

Musso ditembak mati dalam pengejaran. Gerakan Madiun ditumpas dalam waktu singkat.

Konflik kedua memanas jelang tahun 1965. TNI AD dan PKI bersaing. Satu-satunya yang menghalangi pecahnya konflik di antara mereka adalah Presiden Soekarno.

TNI AD menolak mentah-mentah adanya komisariat politik dalam tubuh tentara. Hal semacam ini biasa diterapkan dalam negara komunis. Selain pimpinan militer, ada wakil partai politik dalam organisasi tentara. 

Lalu rencana PKI membentuk
angkatan kelima juga digagalkan TNI AD. Saat itu, PKI meminta buruh tani dipersenjatai untuk kepentingan bela negara. Berkaca dari tahun 1945, TNI AD menolak karena punya pengalaman sulitnya mengatur laskar-laskar bersenjata. 

Aksi PKI menunggangi buruh dan petani merampas negara berbenturan juga dengan TNI AD.

Puncaknya adalah peristiwa Bandar Betsy di Simalungun, Sumatera Utara. Ribuan petani menyerobot tanah milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Seorang anggota TNI, Pelda Soedjono tewas dicangkul.

Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani marah besar mendengar hal itu. Yani meminta kasus itu diusut tuntas. Pelda Soedjono sedang menjalankan tugas negara ketika tewas dikeroyok.

"Bisa timbul anarki dalam negara kalau kasus ini dibiarkan!" ujar Yani marah.

Kemarahan itu dibawanya saat menghadiri HUT Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tanggal 15 Juli 1965 di Jakarta, Yani menumpahkan kemarahannya pada PKI. 

"RPKAD harus tetap memelihara kesiapsiagaan yang merupakan ciri khasnya dalam keadaan apapun, terutama dalam keadaan gawat ini. Asah pisau komandomu, bersihkan senjatamu," kata Yani.

Kurang dari tiga bulan kemudian, Gerakan G30S yang dikomandani Letkol Untung menculik enam jenderal dan satu perwira TNI AD. Yani menjadi salah satu korban penculikan itu.

Panglima Kostrad Mayjen Soeharto dan Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menjadi motor penumpasan PKI sampai ke akar-akarnya. 

Sampai hari ini TNI AD masih mewaspadai gerakan komunis yang disebut mereka sebagai bahaya laten. 

sumber : merdeka

Detik-Detik Tertangkapnya Soepardjo, Seorang Brigjen yang Diperintah Letkol Untung!

"Pangkat saya memang lebih tinggi dari saudara, tapi di gerakan ini, saya anak buah saudara," demikian kira-kira ucapan Brigadir Jenderal Soepardjo saat menyalami Letnan Kolonel Untung Samsuri tanggal 29 September 1965.

Brigjen Soepardjo baru saja tiba di Jakarta. Meninggalkan posnya di Bengkayang, Kalimantan untuk bergabung dengan Gerakan 30 September.

Tubuhnya langsing dan tegap. Dia panglima yang membawahi ribuan pasukan tempur di perbatasan Kalimantan-Malaysia. Usianya baru 44 tahun dengan karir yang cemerlang sebagai komandan pertempuran dan ahli strategi.

Aneh, Soepardjo mau saja ikut gerakan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Jelang G30S, Soepardjo kerap berdiskusi dengan Letkol Untung dan Sjam Kamaruzaman, Ketua Biro Chusus PKI. Di sini dia sudah merasa banyak hal yang berantakan. Hal itu dituliskannya dalam catatan evaluasi untuk G30S.

Seperti lazimnya gerakan komunis, komisariat politik mengendalikan militer. Begitu pula dalam G30S, Sjam Kamaruzaman lebih dominan dari Letkol Untung. Saat Brigjen Soepardjo bertanya rencana B jika aksi G30S gagal, Sjam malah emosi.

"Ya Bung kalau begini banyak yang mundur, kalau revolusi sudah berhasil banyak yang mau ikut," kata Sjam.

Dalam peperangan, skenario mundur bukan pengecut. Dalam setiap pertempuran selalu ada skenario mundur. Tapi ini tak berlaku untuk Sjam dengan gaya yang menggebu-gebu.

Dalam jam-jam awal 1 Oktober 1965, sebenarnya Gerakan Letkol Untung ini berada di atas angin. Namun Untung dan Sjam tak menggunakan kelebihan awal ini untuk momentum selanjutnya. 

"Radio RRI yang kita kuasai juga tidak kita manfaatkan. Sepanjang hari hanya dipergunakan untuk membacakan pengumuman saja. Harusnya radio digunakan semaksimal mungkin oleh barisan agitasi propaganda," kata Soepardjo.

Satu kesalahan fatal lain adalah soal logistik. Untung kehilangan banyak
pasukannya gara-gara nasi bungkus. Pasukan Bimasakti yang terdiri dari Yon 530 dan Yon 454 berjaga sehari penuh di Lapang Monas. 

Tapi tak ada yang mencukupi kebutuhan mereka. Tanggal 1 Oktober 1965 dari pagi hingga petang, pasukan itu tak diberi makan. Maka ketika Soeharto mengutus utusannya untuk membujuk Yon 530 agar kembali ke Kostrad tawaran itu dipenuhi.

"Semua Kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak ada makanan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam. Hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerang ke dalam kota," kata Supardjo kecewa.

Tapi terlambat. Yon 530 sudah bergabung dengan Kostrad dan Yon 454 sudah berada di sekitar Halim. Tak mungkin lagi memerintahkan mereka menyerang.

Setelah G30S gagal, Brigjen Soepardjo bersembunyi. Dialah tokoh kudeta yang tertangkap paling akhir. TNI khusus menggelar Operasi Kalong untuk mengejar Soepardjo. Berkali-kali mau ditangkap, Soepardjo selalu lolos.

Dinas Sejarah TNI AU menulis, tepat pada hari Idul Fitri 1967, Satgas Kalong mencium keberadaan Soepardjo di rumah seorang prajurit AURI di Halim. Intel gabungan bersama Polisi Militer AU menggerebek tempat itu.

Tak ada orang di sana. Namun petugas curiga karena menemukan kopi yang masih panas, jejak kaki di tembok mengarah ke atap dan KTP atas nama Moch Syarif dalam kantong baju yang digantung. Mereka yakin kali ini Soepardjo tak akan lolos.

Letnan Rosjadi berteriak "Ayo turun! Kalau tidak saya tembak!" Terdengar jawaban dari atas, "Baik saya turun."

Benar, sosok itulah Brigjen Soepardjo yang selama satu setengah tahun mereka kejar siang malam.

Soepardjo diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa. Hukuman yang menantinya sudah jelas, ditembak mati.

Soepardjo ditahan di Rumah Tahanan Militer Cimahi. Banyak tahanan lain yang terkesan dengan sikap Soepardjo selama di tahanan. Sebagai jenderal, dia tak mau diistimewakan. Kalau dikirimi makanan, selalu dibagi rata untuk tahanan lain.

Saat keluarganya datang menjenguk untuk terakhir kali, Soepardjo memberikan sepasang sepatu. "Bapak tak bisa memberi apa-apa. Cuma sepasang sepatu ini untuk kenang-kenangan," kata Soepardjo.

Dia juga sukarela menggosok seluruh toilet dan kamar mandi. Keinginannya untuk mati dengan seragam kebesaran militer jenderal bintang satu ditolak. Dia akhirnya memilih pakaian serba putih.

18 Maret 1967, seluruh tahanan dipaksa masuk dalam sel lebih cepat. Mereka tahu itu saatnya Soepardjo dijemput tim eksekusi. Soepardjo sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya di malam terakhirnya.

Nasib jenderal muda ini berakhir tragis termakan hasutan Biro Chusus PKI.

sumber : merdeka

Nasib Tragis Sang Ketua PKI DNI Aidit Ketika Dieksekusi di Sumur Tua!

Kudeta bingung Gerakan 30 September gagal total. Setelah mereka menculik enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD, tak ada gerakan susulan yang dilakukan. Dalam waktu kurang dari 24 jam, mereka langsung dihancurkan Jenderal Soeharto.

Nasib para pelaku dan motor gerakan ini sama tragisnya dengan para jenderal yang mereka bunuh.

Tak ada informasi resmi bagaimana Ketua CC PKI Dipa Nusantara (DN) Aidit tewas. Setelah G30S gagal, Aidit langsung melarikan diri dari Jakarta. Aidit kabur ke daerah basis PKI di Yogyakarta. 

Aidit lalu berkeliling ke Semarang dan Solo. Dia masih sempat menemui beberapa pengurus PKI di daerah untuk melakukan koordinasi.

Dia bisa ditangkap setelah TNI lebih dulu menangkap seorang tokoh PKI. Orang itulah yang diancam dan dipaksa menunjukkan tempat persembunyian Aidit.

Tanggal 22 November 1965, Aidit ditangkap pasukan Brigade Infantri IV Kostrad di kampung dekat Stasiun Solo Balapan. Aidit bersembunyi dalam sebuah ruangan yang ditutup lemari. Tentara curiga saat melihat ada ruangan yang kelihatan tak wajar.

Aidit yang ditangkap sempat menggertak Letnan yang menggerebeknya.

"Saya Menteri Koordinator!" gertak Aidit.

Letnan itu sempat kecut. Namun dia tetap menjalankan tugasnya. Aidit diperlakukan dengan cukup baik saat ditangkap.

Kepada Komandan Brigif IV, Kolonel Jasir Hadibroto, Aidit minta dipertemukan dengan Soekarno. Aidit mengaku sudah membuat pengakuan tertulis soal G30S. Dokumen itu rencananya akan diberikan pada Soekarno.

Tapi keinginan Aidit tak pernah terpenuhi. Keesokan harinya, Jasir dan pasukannya membawa Aidit ke sebuah sumur tua di belakang markas TNI di Boyolali. Aidit berpidato berapi-api sebelum ditembak. Berondongan AK-47 mengakhiri hidup Ketua Comite Central PKI itu. 

Kuburan pasti Aidit tak diketahui hingga kini.

Tidak Disangka! Inilah 5 Cerita Tragis Akhir Hidup Para Tokoh Pentolan PKI!

Mereka dikenal sebagai petinggi atau tokoh Partai Komunis Indonesia. Sejarah mencatat nama mereka dengan tinta hitam karena berbeda ideologi dengan pemerintah yang sah.

Dua kali pemberontakan komunis berakhir dengan kegagalan. Tahun 1948 di Madiun pemberontakan komunis langsung dihancurkan pasukan gabungan tentara Soekarno. Percobaan pemberontakan tahun 1965 pun kembali menemui kegagalan. Kali ini bahkan lebih tragis, jutaan kader dan anggota PKI ditumpas habis Jenderal Soeharto.

Maka nasib para petinggi partai merah ini pun hampir selalu bernasib tragis. Semuanya meregang nyawa ditembus peluru. Beberapa tak diketahui kuburnya.

Tak ada penghormatan untuk jenazah mereka, karena dieksekusi sebagai pemberontak. Pemerintah yang menang menembak mereka sebagai orang taklukan yang kalah.

1. Muso

Negara Republik Soviet Indonesia yang diproklamirkan tokoh komunis Muso di Madiun tak berumur panjang. Negara yang didirikan tanggal 18 September 1948 itu langsung dihancurkan pasukan TNI yang menyerang dari Timur dan Barat. Dalam waktu dua minggu, kekuatan bersenjata tentara Muso dihancurkan pasukan TNI.

Muso, Amir Syarifuddin dan pimpinan PKI Madiun melarikan diri. Di tengah jalan, Amir dan Muso berbeda pendapat. Muso melanjutkan perjalanan hanya ditemani beberapa pengawal.

Tanggal 31 Oktober, pasukan TNI di bawah pimpinan Kapten Sumadi memergoki Muso di Purworejo. Muso menolak menyerah dan melarikan diri. Dia bersembunyi di sebuah kamar mandi. Di sana dia terlibat baku tembak hingga tewas.

Beberapa sumber menyebutkan jenazah Muso kemudian dibawa ke alun-alun dan dibakar.

Amir Syarifudin

Amir Syarifuddin pernah menempati sejumlah posisi penting saat Indonesia baru merdeka. Dia pernah menjadi Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, bahkan Perdama Menteri Republik Indonesia. Tapi hasil perjanjian Renville memutar nasib Amir 180 derajat.

Saat itu Amir menjadi negosiator utama RI dalam perjanjian itu. Isi perjanjian Renville memang tak menguntungkan RI. Belanda hanya mengakui Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera. Maka Amir dikecam kiri-kanan. Kabinetnya jatuh. Dia kemudian bergabung dengan Muso dalam Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun tanggal 19 September 1948.

Saat pemberontakan Madiun dihancurkan TNI, Amir melarikan diri. Dia akhirnya ditangkap TNI di hutan kawasan Purwodadi. Tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan Agresri Militer II, Amir ditembak mati bersama para pemberontak Madiun yang tertangkap.
Eksekusi dilakukan dengan buru-buru.

Sebelum meninggal Amir menyanyikan lagu internationale, yang merupakan lagu komunis. Amir juga sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Peluru seorang polisi militer mengakhiri hidupnya.

DN Aidit

Dipa Nusantara (DN) Aidit langsung melarikan diri dari Jakarta saat Gerakan 30 September 1965 gagal. Aidit lari ke daerah basis PKI di Yogyakarta. Aidit lalu berkeliling ke Semarang dan Solo. Dia masih sempat menemui beberapa pengurus PKI di daerah untuk melakukan koordinasi.

Tanggal 22 November 1965, Aidit ditangkap pasukan Brigade Infantri IV Kostrad di kampung dekat Stasiun Solo Balapan. Aidit bersembunyi dalam sebuah ruangan yang ditutup lemari.

Kepada Komandan Brigif IV, Kolonel Jasir Hadibroto, Aidit minta dipertemukan dengan Soekarno. Aidit mengaku sudah membuat pengakuan tertulis soal G30S. Dokumen itu rencananya akan diberikan pada Soekarno.

Tapi keinginan Aidit tak pernah terpenuhi. Keesokan harinya, Jasir dan pasukannya membawa Aidit ke sebuah sumur tua di belakang markas TNI di Boyolali. Aidit berpidato berapi-api sebelum ditembak. Berondongan AK-47 mengakhiri hidup Ketua Comite Central PKI itu. Kuburan pasti Aidit tak diketahui hingga kini.

MH Lukman

Muhammad Hatta Lukman, orang kedua di Partai Komunis Indonesia setelah Aidit. Bersama Njoto dan Aidit, ketiganya dikenal sebagai triumvirat, atau tiga pemimpin PKI. MH Lukman mengikuti ayahnya yang dibuang ke Digoel, Papua. Sejak kecil dia terbiasa hidup di tengah pergerakan. Nama Muhammad Hatta diberikan karena Lukman sempat menjadi kesayangan Mohammad Hatta, proklamator RI.

Tapi seperti beberapa tokoh pemuda Menteng 31 pada tahun 1945, Lukman memilih komunis sebagai jalan hidup. Setelah pemberontakan Madiun 1948, triumvirat ini langsung melejit, mengambil alih kepemimpinan PKI dari para komunis tua. Di pemerintahan, Lukman sempat menjabat wakil ketua DPR-GR.

Tak banyak data mengenai kematian Lukman. Saat itu beberapa hari setelah Gerakan 30 September gagal, Lukman diculik dan ditembak mati tentara. Mayat maupun kuburannya tak diketahui.

Tokoh Politbiro Comite Central PKI Sudisman di pengadilan menyebut tragedi pembunuhan Aidit, Lukman dan Njoto, sebagai 'jalan mati'. Karena ketiganya tak diadili dan langsung ditembak mati.

Njoto

Njoto merupakan Wakil Ketua II Comite Central PKI. Orang ketiga saat PKI menggapai masa jayanya periode 1955 hingga 1965. Njoto juga kesayangan Soekarno. Aidit sempat menganggap Njoto lebih Sukarnois daripada Komunis.

Njoto menjadi menteri kabinet Dwikora, mewakili PKI. Dia salah satu orang yang dipercaya Soekarno untuk menulis pidato kenegaraan yang akan dibacakan Soekarno. Njoto seniman, pemusik, dan politikus yang cerdas.

Menjelang tahun 1965, isu berhembus. Njoto diisukan berselingkuh dengan wanita Rusia. Ini yang membuat Aidit memutuskan akan memecat Njoto. Menjelang G30S, Njoto sudah tak lagi diajak rapat pimpinan tinggi PKI.

Kematian Njoto pun simpang siur. Kabarnya tanggal 16 Desember 1965, Njoto pulang mengikuti sidang kabinet di Istana Negara. Di sekitar Menteng, mobilnya dicegat. Njoto dipukul kemudian dibawa pergi tentara. Diduga dia langsung ditembak mati.

Sama dengan kedua sahabatnya, Aidit dan Lukman, kubur Njoto pun tak diketahui.

NGERI! Jika Tahun 1965 PKI Menang, Inilah yang Akan Terjadi di Indonesia!

Tragedi penculikan enam jenderal dan satu perwira TNI AD tanggal 1 Oktober 1965 berujung pahit bagi Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak butuh waktu lama hingga akhirnya PKI dibubarkan. Di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI tewas dibunuh.

PKI kalah dalam kudeta gagal tersebut. Angkatan Darat dan Ormas antikomunis langsung menyerang balik dan menghancurkan PKI hingga nyaris tak tersisa.

Banyak pertanyaan, seandainya saat itu gerakan G30S berhasil dan PKI yang menang kira-kira apa yang terjadi?

Sejarawan Anhar Gonggong menilai PKI juga akan melakukan pembantaian serupa. Menurut Anhar jika melihat sejarah, perebutan kekuasaan yang dilakukan komunis pasti memakan pertumpahan darah yang sangat besar.

"Lihat di Rusia dan Uni Soviet, mungkin satu setengah juta orang terbunuh. Di Kamboja pun Khmer Merah membunuh jutaan penduduk yang tak sama dengan mereka," kata Anhar Gonggong dalam diskusi Jelajah Sejarah di Lubang Buaya, Minggu (18/10).

Walau PKI sempat menegaskan akan berjuang lewat parlemen dan tidak akan melakukan kekerasan, Anhar tak yakin dengan semua itu. Menurutnya pembantaian pasti akan terjadi. Kebetulan yang menang tahun 1965 adalah Soeharto, sehingga PKI yang dibantai. Sebuah sejarah kelam yang pernah terjadi di negeri ini.

"Kenyataannya pasti seperti itu. Tinggal siapa yang saat itu (tahun 1965) menang saja," katanya.

Pembersihan anggota PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur dilakukan oleh TNI dibantu ormas dan warga antikomunis. Resimen Para Komando Angkatan Darat yang dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo melatih para pemuda yang mau melawan komunis.

Sejarah mencatat, banyak yang ikut dibunuh bukanlah anggota PKI, tetapi hanya ikut-ikutan saja. Orang yang dicap Soekarnois juga banyak menjadi korban. 

Banyak versi soal jumlah korban usai geger 1965. AS memperkirakan 500.000 sampai 1 juta orang tewas, sementara Kolonel Sarwo Edhie menyebut tiga juta orang tewas dalam tragedi itu.

sumber : merdeka

Minggu, 01 Oktober 2017

Bagaimana AH Nasution Lolos ? Inilah Kunci Teka-Teki Siapa Dalang G30S/PKI

JENDERAL Besar TNI Abdul Haris (AH) Nasution, lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918. Dia merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Dia berhasil selamat, namun putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean, menjadi korban penculikan PKI.
Pada 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September (G30S) mencoba menculik tujuh perwira Angkatan Darat antikomunis termasuk Nasution. Letnan Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 04.00 WIB pagi. Rumah Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40. Saat tiba, para penjaga rumah Nasution tak curiga dengan kedatangan mereka karena menggunakan pakaian layaknya tentara pada umumnya.
Sersan Iskaq, yang bertanggung jawab menjaga rumah saat itu sedang berada di ruang jaga yang terletak di ruang depan bersama beberapa tentara. Sedangkan, beberapa di antaranya sedang tidur. Dua ajudan Nasution yakni Letnan Muda Pierre Tendean dan Ajun Komisaris Polisi Hamdan Mansjur pun sedang tertidur.
Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menguasai para penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah.
Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai tapi Nyonya Nasution mendengar pintu dibuka paksa. Dia bangkit dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, ia melihat tentara Cakrabirawa (pengawal presiden) dengan senjata siap menembak.
Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci pintu. Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan ke kamar tidur.
Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan halamannya dengan Kedutaan Besar Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian menembaknya tapi meleset. Nasution Memanjat dinding dan mengalami patah pergelangan kaki saat ia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi.
Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adik Nasution, Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution Ade Irma Suryani Nasution (5) dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam pelukannya, dan mencoba lari ke tempat aman.
Saat ia berlari, seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya melalui pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia meninggal lima hari kemudian di rumah sakit. Sementara putri sulung Nasution, Hendrianti Saharah (13) dan perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat tidur.
Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tapi ia tertangkap dalam beberapa langkah. Dalam kegelapan, ia membuat kesalahan dan sudah berada di bawah todongan senjata. Setelah mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya yang terluka.
Saat ia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu mereka di mana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melakukan percakapan singkat sambil marah-marah dengan Arief dan mengatakan kepadanya bahwa Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari. Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka.
Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06.00 WIB ketika ia kembali ke rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution kemudian meminta ajudan untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan lebih aman di sana. Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad, mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman.
Setelah mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih komando tentara, Nasution kemudian memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah seperti mencari tahu keberadaan presiden, menghubungi Panglima Angkatan Laut RE Martadinata, Komandan Korps Marinir R Hartono serta Kepala Kepolisian Soetjipto Joedodihardjo, dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan yang mengarah ke sana.
Angkatan Udara tidak termasuk karena Panglima Omar Dhani dicurigai sebagai simpatisan G30S. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam rencananya untuk mengamankan kota.
Sekira pukul 14.00 WIB, setelah Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi, Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo. Dalam rangka itu, Nasution mengatakan bahwa ia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di Halim. Dia langsung memerintahkan ABRI untuk membebaskan Presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.
Namun, pesan datang dari Soekarno di Halim. Soekarno telah memutuskan untuk menunjuk loyalisnya, Mayjen Pranoto Reksosamodra untuk mengisi posisi Panglima Angkatan Darat dan diminta menemuinya. Soeharto tidak mengijinkan Pranoto pergi tapi ia tahu bahwa Soekarno tidak akan menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto. Untuk memperkuat posisi tawar, Soeharto meminta Nasution untuk datang ke Markas Kostrad.
Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul enam sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di sana, Nasution akhirnya menerima pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah. Setelah Jakarta aman, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk Pranoto. Setelah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk membahas situasi.
Nasution meminta Martadinata bagaimana caranya presiden datang untuk menunjuk Pranoto. Martadinata menjawab bahwa pada sore hari ia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima Angkatan Darat setelah Yani tewas.
Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi Panglima Angkatan Darat. Nasution mengatakan bahwa penunjukan Soekarno tidak dapat diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi. Nasution dan Soeharto kemudian mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat sampai setelah Soeharto selesai menumpas percobaan kudeta.
Dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan udara. Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September.
Untuk angkatan udara, Nasution mengeluarkan perintah mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika mereka menolak untuk mematuhi perintah Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani. Pada pukul 06.00 WIB tanggal 2 Oktober, Halim berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.
Inilah kuncinya dari teka-teki sejarah G30S/PKI yang masih sering diperdebatkan. Bukti ini yang membantah bahwa Suharto adalah dalang, justru karena Pak Harto-lah bangsa ini bisa lepas dari Komunis..JENDERAL Besar TNI Abdul Haris (AH) Nasution, lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918. Dia merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Dia berhasil selamat, namun putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean, menjadi korban penculikan PKI.
Pada 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September (G30S) mencoba menculik tujuh perwira Angkatan Darat antikomunis termasuk Nasution. Letnan Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 04.00 WIB pagi. Rumah Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40. Saat tiba, para penjaga rumah Nasution tak curiga dengan kedatangan mereka karena menggunakan pakaian layaknya tentara pada umumnya.
Sersan Iskaq, yang bertanggung jawab menjaga rumah saat itu sedang berada di ruang jaga yang terletak di ruang depan bersama beberapa tentara. Sedangkan, beberapa di antaranya sedang tidur. Dua ajudan Nasution yakni Letnan Muda Pierre Tendean dan Ajun Komisaris Polisi Hamdan Mansjur pun sedang tertidur.
Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menguasai para penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah.
Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai tapi Nyonya Nasution mendengar pintu dibuka paksa. Dia bangkit dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, ia melihat tentara Cakrabirawa (pengawal presiden) dengan senjata siap menembak.
Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci pintu. Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan ke kamar tidur.
Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan halamannya dengan Kedutaan Besar Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian menembaknya tapi meleset. Nasution Memanjat dinding dan mengalami patah pergelangan kaki saat ia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi.
Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adik Nasution, Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution Ade Irma Suryani Nasution (5) dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam pelukannya, dan mencoba lari ke tempat aman.
Saat ia berlari, seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya melalui pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia meninggal lima hari kemudian di rumah sakit. Sementara putri sulung Nasution, Hendrianti Saharah (13) dan perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat tidur.
Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tapi ia tertangkap dalam beberapa langkah. Dalam kegelapan, ia membuat kesalahan dan sudah berada di bawah todongan senjata. Setelah mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya yang terluka.
Saat ia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu mereka di mana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melakukan percakapan singkat sambil marah-marah dengan Arief dan mengatakan kepadanya bahwa Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari. Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka.
Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06.00 WIB ketika ia kembali ke rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution kemudian meminta ajudan untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan lebih aman di sana. Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad, mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman.
Setelah mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih komando tentara, Nasution kemudian memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah seperti mencari tahu keberadaan presiden, menghubungi Panglima Angkatan Laut RE Martadinata, Komandan Korps Marinir R Hartono serta Kepala Kepolisian Soetjipto Joedodihardjo, dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan yang mengarah ke sana.
Angkatan Udara tidak termasuk karena Panglima Omar Dhani dicurigai sebagai simpatisan G30S. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam rencananya untuk mengamankan kota.
Sekira pukul 14.00 WIB, setelah Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi, Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo. Dalam rangka itu, Nasution mengatakan bahwa ia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di Halim. Dia langsung memerintahkan ABRI untuk membebaskan Presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.
Namun, pesan datang dari Soekarno di Halim. Soekarno telah memutuskan untuk menunjuk loyalisnya, Mayjen Pranoto Reksosamodra untuk mengisi posisi Panglima Angkatan Darat dan diminta menemuinya. Soeharto tidak mengijinkan Pranoto pergi tapi ia tahu bahwa Soekarno tidak akan menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto. Untuk memperkuat posisi tawar, Soeharto meminta Nasution untuk datang ke Markas Kostrad.
Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul enam sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di sana, Nasution akhirnya menerima pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah. Setelah Jakarta aman, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk Pranoto. Setelah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk membahas situasi.
Nasution meminta Martadinata bagaimana caranya presiden datang untuk menunjuk Pranoto. Martadinata menjawab bahwa pada sore hari ia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima Angkatan Darat setelah Yani tewas.
Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi Panglima Angkatan Darat. Nasution mengatakan bahwa penunjukan Soekarno tidak dapat diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi. Nasution dan Soeharto kemudian mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat sampai setelah Soeharto selesai menumpas percobaan kudeta.
Dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan udara. Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September.
Untuk angkatan udara, Nasution mengeluarkan perintah mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika mereka menolak untuk mematuhi perintah Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani. Pada pukul 06.00 WIB tanggal 2 Oktober, Halim berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.
Inilah kuncinya dari teka-teki sejarah G30S/PKI yang masih sering diperdebatkan. Bukti ini yang membantah bahwa Suharto adalah dalang, justru karena Pak Harto-lah bangsa ini bisa lepas dari Komunis..

Pierre Tendean dan Kisah Tragisnya Menjadi "Tumbal" Pelindung Jendral Nasution!

Pierre Andreas Tendean atau dikenal sebagai Kapten Tendean merupakan seorang perwira militer yang menjadi korban peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.

Ia dibunuh secara tidak manusiawi dan dimasukkan kedalam sumur bersama keenam perwira tinggi TNI lainnya, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen TNI S Parman, Mayjen TNI R Soeprapto, Brigjen TNI Donalad Isaccus Pandjaitan, dan Brigjen TNI Soetojo S.

Rumah Jenderal Nasution yang berlokasi di Jalan Teuku Umar Nomor 40, Gondangdia, Jakarta Pusat, menjadi tempat terakhir Kapten Tendean singgah sebelum terbunuh tragis oleh kelompok PKI. Di museum inilah diorama serta foto-foto Kapten Tendean terbingkai rapi bersama barang-barang peninggalan Jenderal Nasution.

Terlahir dari pasangan L. Tendean, seorang  dokter berdarah Minahasa dan Maria Elizabeth Cornet, wanita Indonesia berdarah  Perancis, Pierre Tendean merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.
Sejak kecil, perwira kelahiran Jakarta 21 Februari 1939 ini mulai tertarik untuk menggeluti bidang militer. Memulai mengenyam sekolah dasar di Magelang, ia melanjutkan sekolahnya SMP dan SMA di Semarang, tempat ayahnya bertugas. Hingga pada tahun 1958, ia memulai pendidikannya menjadi taruna di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung.

Karier awalnya di bidang militer dimulai dari menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Intelijen Negara di Bogor.

Tamat sekolah intelijen, ia langsung ditugaskan oleh Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia yang dikenal dengan istilah Dwikora. Ia bertugas untuk memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk melakukan penyusupan ke Malaysia.

Sejak saat itu prestasi Pierre Tendean di bidang militer mulai menjanjikan. Dibuktikan dengan setidaknya ada tiga jenderal yang menginginkan Pierre menjadi ajudannya, yaitu Jenderal Nasution, Jenderal Hartawan,  dan Jenderal Kadarsan.

Namun Jenderal Nasution berkeras menginginkan Pierre sebagai ajudannya. Hingga pada tanggal 15 April 1965, Pierre mulai dipromosikan menjadi Letnan Satu (Lettu) dan pengawal pribadi Jenderal Abdul Haris Nasution, menggantikan Kapten Manullang yang gugur saat menjaga perdamaian di Kongo.

Pada usianya yang menginjak 26 tahun, Pierre menjadi salah satu pengawal termuda yang dimiliki Jenderal Nasution.

Sejak ia bertugas dengan Jenderal Nasution, Tendean bisa dikatakan menjalin hubungan keluarga yang cukup dekat dengan kedua anak Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani dan Hendrianti Sahara Nasution. Salah satu kedekatan beliau dengan Ade Irma Suryani dapat dilihat dari bingkai foto mereka yang terpampang di dalam Museum AH Nasution.

Tepat tanggal  30 September, Tendean yang biasanya berada di Semarang untuk merayakan hari ulang tahun ibunya kala itu menunda kepulangannya karena bertugas sebagai ajudan A.H Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40 Jakarta Pusat. Namun tak disangka, pasukan Tjakrabirawa datang menyerbu kediaman Jenderal Nasution untuk melakukan penculikan.

Pierre Tendean yang saat itu sedang beristirahat di ruang tamu kediaman Jenderal Nasution sontak terbangun dan mendatangi sumber kegaduhan. Ia langsung disambut dengan todongan senapan oleh pasukan Tjakrabirwa.

Pierre Tendean yang diduga oleh Pasukan Tjakrabirawa sebagai Jenderal Nasution langsung diculik dan dibawanya ke Lubang Buaya. Selain menculik Pierre Tendean, nyawa Ade Irma Suryani Nasution, putri Jenderal Nasution tak terselamatkan karena peluru yang menembus tubuhnya. 

Diorama yang terletak di samping gedung utama Museum Dr. A.H Nasution menjelaskan bagaimana kronologi penangkapan Kapten Tendean oleh Pasukan Tjakrabirawa.

Nampak jelas bahwa Kapten Tendean yang terkepung oleh senjata Tjakrabirawa. Diceritakan bahwa Kapten Tendean selaku ajudan Jenderal Nasution melindungi pemimpinnya dengan berkata "Saya Jenderal AH Nasution."

Pierre pun dibawa ke Lubang Buaya bersama bersama ke enam perwira tinggi TNI lainnya yang kemudian dibunuh secara keji dan dimasukkan ke dalam sumur berdiameter 75 cm dengan posisi kaki di atas.

Pierre Tendean meninggal di usianya yang menginjak 26 tahun. Duka mendalam pun dialami ibunya dan juga calon istri bernama Rukmini Chaimin yang menantinya di Medan untuk melaksanakan pernikahan pada bulan November 1965. 

Pierre Tendean kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965. Bentuk kehormatan pun disampaikan dengan menaikkan pangkat beliau menjadi Kapten.

sumber : kompas