Usianya memang senja, tangan pun mulai bergetar saat menggoreskan pena. Namun detik-detik peristiwa tepat di hari pertama tahun 1964 tidak pernah beranjak dari memorinya.
Soetoyo ingat jelas, tepat pukul 15.00 Wita, tentara Inggris dan Gurkha menyerang pos tempatnya berjaga di Krayan, perbatasan Kalimantan dengan Malaysia.
Soetoyo paham betul menjadi seorang pejuang mesti memiliki moral yang tinggi. Karena itu, walau empat rekannya sesama pejuang di garis depan berdarah-darah dibantai musuh, tak sedikit pun ada gentar dalam sanubarinya. Malahan semangatnya meletup-letup mempertahankan perbatasan negeri dari geliat pasukan asing.
�Jam tiga sore, terdengar suara pistol disertai lemparan granat. Salah seorang dari kami mengecek ke pos jaga dan kembali melapor. Tiga teman kami gugur, seorang lagi luka parah. Rupanya kami diserang,� kisah Soetoyo mengulas kembali baku tembak pertama dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia di Kalimantan.
Sejak semester kedua 1963, dia bersama tujuh rekannya ditugaskan menjaga wilayah perbatasan Kaltim dengan Malaysia. Regunya berada di daerah Krayan, Nunukan, bersebelahan dengan wilayah Ba�kelalan, Serawak yang masuk wilayah Malaysia. Sebuah bukit dan tanah lapang sepanjang lima kilometer menjadi pemisah antara Indonesia dengan negeri jiran tersebut.
Batalion tentara Inggris yang dibantu pasukan Gurkha bersiaga di Ba�kelalan. Sebuah bandara menjadi pangkalan mereka, mengancam kedaulatan Indonesia.
�Itu serangan militer pertama. Sebelum-sebelumnya hanya ketegangan antara dua negara yang dimulai dengan perobekan foto Presiden Soekarno dan diinjaknya Garuda Pancasila di Kuala Lumpur,� beber Soetoyo.
Diserang, Soetoyo dan rekan-rekannya membalas. Mereka mengejar tentara musuh hingga melewati perbatasan. Baku tembak tak terelakkan. Desingan senapan mesin jenis M43 pun tak berhenti menyentak.
Walaupun hanya terdiri dari empat prajurit, Soetoyo dan rekan-rekannya tak gentar. Sekalipun mereka menyadari tengah berhadapan dengan satu peleton prajurit musuh.
�Kami tahu mereka satu peleton karena ada suara letusan pistol. Yang membawa pistol itu hanya komandan peleton,� ujarnya dalam suara parau.
Semangat membela tanah air disertai darah muda yang menggebu-gebu membuat Soetoyo bertempur tanpa beban.
Dia masih bujang kala itu, usianya belum genap 22 tahun. Namun semakin memasuki daerah lawan artinya semakin dekat dengan maut. Pertahanan Inggris pun memberikan perlawanan. Hujan peluru membuat Soetoyo dan kawan-kawan mesti bertempur cerdas.
�Kami sadari lawan kami tidak sedikit. Apalagi kami masuk wilayah musuh. Kami sempat berlindung beberapa jam. Setelah memastikan telah mengusir prajurit musuh dari wilayah Indonesia, baru kami kembali ke pos,� tutur Soetoyo yang mengawali karier militernya di Sekolah Calon Tamtama (Secata) Jember ini.
Dia menyesalkan leher senapan mesin M43 yang terkena tembakan musuh. Sehingga tidak dapat memutar dan hanya membidik ke satu arah. Padahal dengan kemampuan menembakkan 500 peluru dalam satu rantai, pasti bisa menembak lebih banyak prajurit musuh bila dapat berputar.
Hebatnya, senapa mesin itu digerakkan oleh rekan Soetoyo di pos jaga yang selamat meski harus kehilangan satu kaki.
�Walaupun terluka parah karena serangan musuh dan kehilangan kakinya, namun dia masih bisa bergerak untuk mengoperasikan senapan. Membuat prajurit musuh kocar-kacir masuk ke hutan,� kenangnya.
Setelah selamat dalam pertempuran tersebut, Soetoyo dan rekan-rekannya terus mendapat intimidasi dari tentara Inggris yang membantu Malaysia. Beberapa kali tentara Inggris melayangkan ultimatum, memaksa Soetoyo dan regunya di perbatasan untuk melambaikan bendera putih.
Di antara ultimatum itu mengabarkan bahwa pasukan Indonesia termasuk pasukan khusus RPKAD telah menyerah, menyimpulkan perjuangan Soetoyo dan rekan-rekannya sia-sia.
�Tapi kami tidak gentar. Karena kami berada di wilayah kami sendiri. Kami tidak mau menyerah,� ungkap pria kelahiran Kediri, 2 November 1942 ini.
Empat bulan mempertahankan pos perbatasan, Soetoyo ditarik kembali ke Balikpapan. Dia hendak dididik mengoperasikan senjata penangkis serangan udara Batalion Arsu. Sementara tugasnya di Krayan digantikan pasukan batalion 517.
Namun saat berada di Malinau dalam perjalanan ke Balikpapan, dia mendengar kabar pasukan Inggris menyerang Krayan hingga ke daerah perkampungan. Batalion 517 yang menggantikan regunya pun hancur lebur dalam serangan tersebut.
�Mungkin intelijen musuh mengetahui bahwa pasukan yang berjaga merupakan pasukan baru yang belum mengenal medan. Lalu mereka memutuskan menyerang dengan brutal,� sebutnya.
Lepas pendidikan di Balikpapan, Soetoyo ditugaskan di Batalion 609 di Hulu Mahakam, yang kini masuk wilayah Kutai Kartanegara (Kukar). Setelah konfrontasi dengan Malaysia berakhir tahun 1966, dia dipanggil kembali ke batalionnya di Balikpapan. Setahun kemudian dia dipindahtugaskan menjadi Polisi Militer dan pindah ke Kota Tepian tahun 1970.
�Saya jadi polisi militer sampai pensiun tahun 1990. Karena saya sempat bertempur dalam konfrontasi dengan Malaysia dan mendapatkan penghargaan Dwikora, saya disarankan mendaftar ke Legiun Veteran,� tandas kakek dari 19 cucu ini. (bersambung)
sumber : prokal
Soetoyo ingat jelas, tepat pukul 15.00 Wita, tentara Inggris dan Gurkha menyerang pos tempatnya berjaga di Krayan, perbatasan Kalimantan dengan Malaysia.
Soetoyo paham betul menjadi seorang pejuang mesti memiliki moral yang tinggi. Karena itu, walau empat rekannya sesama pejuang di garis depan berdarah-darah dibantai musuh, tak sedikit pun ada gentar dalam sanubarinya. Malahan semangatnya meletup-letup mempertahankan perbatasan negeri dari geliat pasukan asing.
�Jam tiga sore, terdengar suara pistol disertai lemparan granat. Salah seorang dari kami mengecek ke pos jaga dan kembali melapor. Tiga teman kami gugur, seorang lagi luka parah. Rupanya kami diserang,� kisah Soetoyo mengulas kembali baku tembak pertama dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia di Kalimantan.
Sejak semester kedua 1963, dia bersama tujuh rekannya ditugaskan menjaga wilayah perbatasan Kaltim dengan Malaysia. Regunya berada di daerah Krayan, Nunukan, bersebelahan dengan wilayah Ba�kelalan, Serawak yang masuk wilayah Malaysia. Sebuah bukit dan tanah lapang sepanjang lima kilometer menjadi pemisah antara Indonesia dengan negeri jiran tersebut.
Batalion tentara Inggris yang dibantu pasukan Gurkha bersiaga di Ba�kelalan. Sebuah bandara menjadi pangkalan mereka, mengancam kedaulatan Indonesia.
�Itu serangan militer pertama. Sebelum-sebelumnya hanya ketegangan antara dua negara yang dimulai dengan perobekan foto Presiden Soekarno dan diinjaknya Garuda Pancasila di Kuala Lumpur,� beber Soetoyo.
Diserang, Soetoyo dan rekan-rekannya membalas. Mereka mengejar tentara musuh hingga melewati perbatasan. Baku tembak tak terelakkan. Desingan senapan mesin jenis M43 pun tak berhenti menyentak.
Walaupun hanya terdiri dari empat prajurit, Soetoyo dan rekan-rekannya tak gentar. Sekalipun mereka menyadari tengah berhadapan dengan satu peleton prajurit musuh.
�Kami tahu mereka satu peleton karena ada suara letusan pistol. Yang membawa pistol itu hanya komandan peleton,� ujarnya dalam suara parau.
Semangat membela tanah air disertai darah muda yang menggebu-gebu membuat Soetoyo bertempur tanpa beban.
Dia masih bujang kala itu, usianya belum genap 22 tahun. Namun semakin memasuki daerah lawan artinya semakin dekat dengan maut. Pertahanan Inggris pun memberikan perlawanan. Hujan peluru membuat Soetoyo dan kawan-kawan mesti bertempur cerdas.
�Kami sadari lawan kami tidak sedikit. Apalagi kami masuk wilayah musuh. Kami sempat berlindung beberapa jam. Setelah memastikan telah mengusir prajurit musuh dari wilayah Indonesia, baru kami kembali ke pos,� tutur Soetoyo yang mengawali karier militernya di Sekolah Calon Tamtama (Secata) Jember ini.
Dia menyesalkan leher senapan mesin M43 yang terkena tembakan musuh. Sehingga tidak dapat memutar dan hanya membidik ke satu arah. Padahal dengan kemampuan menembakkan 500 peluru dalam satu rantai, pasti bisa menembak lebih banyak prajurit musuh bila dapat berputar.
Hebatnya, senapa mesin itu digerakkan oleh rekan Soetoyo di pos jaga yang selamat meski harus kehilangan satu kaki.
�Walaupun terluka parah karena serangan musuh dan kehilangan kakinya, namun dia masih bisa bergerak untuk mengoperasikan senapan. Membuat prajurit musuh kocar-kacir masuk ke hutan,� kenangnya.
Setelah selamat dalam pertempuran tersebut, Soetoyo dan rekan-rekannya terus mendapat intimidasi dari tentara Inggris yang membantu Malaysia. Beberapa kali tentara Inggris melayangkan ultimatum, memaksa Soetoyo dan regunya di perbatasan untuk melambaikan bendera putih.
Di antara ultimatum itu mengabarkan bahwa pasukan Indonesia termasuk pasukan khusus RPKAD telah menyerah, menyimpulkan perjuangan Soetoyo dan rekan-rekannya sia-sia.
�Tapi kami tidak gentar. Karena kami berada di wilayah kami sendiri. Kami tidak mau menyerah,� ungkap pria kelahiran Kediri, 2 November 1942 ini.
Empat bulan mempertahankan pos perbatasan, Soetoyo ditarik kembali ke Balikpapan. Dia hendak dididik mengoperasikan senjata penangkis serangan udara Batalion Arsu. Sementara tugasnya di Krayan digantikan pasukan batalion 517.
Namun saat berada di Malinau dalam perjalanan ke Balikpapan, dia mendengar kabar pasukan Inggris menyerang Krayan hingga ke daerah perkampungan. Batalion 517 yang menggantikan regunya pun hancur lebur dalam serangan tersebut.
�Mungkin intelijen musuh mengetahui bahwa pasukan yang berjaga merupakan pasukan baru yang belum mengenal medan. Lalu mereka memutuskan menyerang dengan brutal,� sebutnya.
Lepas pendidikan di Balikpapan, Soetoyo ditugaskan di Batalion 609 di Hulu Mahakam, yang kini masuk wilayah Kutai Kartanegara (Kukar). Setelah konfrontasi dengan Malaysia berakhir tahun 1966, dia dipanggil kembali ke batalionnya di Balikpapan. Setahun kemudian dia dipindahtugaskan menjadi Polisi Militer dan pindah ke Kota Tepian tahun 1970.
�Saya jadi polisi militer sampai pensiun tahun 1990. Karena saya sempat bertempur dalam konfrontasi dengan Malaysia dan mendapatkan penghargaan Dwikora, saya disarankan mendaftar ke Legiun Veteran,� tandas kakek dari 19 cucu ini. (bersambung)
sumber : prokal
EmoticonEmoticon